Togeloverz.info - Bulan Ramadan tahun ini bertepatan dengan musim panas di Amerika Serikat, dengan siang hari jauh lebih panjang ketimbang malamnya. Alhasil, rentang waktu puasanya pun lebih lama, yaitu 16,5 jam, atau 3 jam lebih lama ketimbang di Indonesia. Bagi mereka yang belum terbiasa, tambahan “injury time” 3 jam itu sangat terasa.
"Selisih waktu puasa tiga jam itu kerasa banget. Secara fisik kita lebih lama menahan lapar dan haus. Secara psikologis juga penantian kita jadi lebih panjang. Jam 5 sore di Indonesia sudah hampir buka, tapi kalau di sini masih lama," tutur Anet Adilla, mahasiswi asal Indonesia yang sedang menempuh studi di American University, Washington DC, AS, Minggu (21/6/2015) lalu.
Ini adalah Ramadan pertama Anet di Amerika. Selain penantian berbuka yang lebih panjang, puasa di musim panas juga berarti malam hari yang lebih pendek, yang berarti waktu yang lebih sempit untuk salat tarawih, tidur, dan sahur. Magrib baru dimulai pukul 20.37, sedangkan Isya pukul 22.12 dan imsak pukul 04.08.
“Dari buka ke sahur rasanya pendek sekali waktunya. Baru selesai tarawih sudah larut malam,” kata Anet.
Selain waktu yang lebih lama, berpuasa di Amerika juga dihadapkan pada tantangan tersendiri mengingat umat muslim merupakan minoritas. Di mana-mana restoran tetap buka dan orang makan seperti di hari-hari biasa.
“Nggak ada temannya kalau puasa, jadi terasa lebih berat,” ucap Anet.
Akan tetapi, imbuhnya, pada saat yang sama puasa justru terasa lebih personal karena tidak ada tekanan sosial. Orang berpuasa bukan karena dipaksa oleh lingkungan, melainkan karena niat ikhlas berpuasa.
“Kalau di Indonesia kan orang puasa bisa jadi karena tidak enak dengan lingkungan sekitar, jadi kalau mau batalin puasa harus disembunyikan,” ujarnya tertawa.
Lain orang lain kesan. Menurut Wita Salim, warga Indonesia yang sudah 16 tahun tinggal di Amerika, puasa di AS justru lebih terasa nikmat. Meski dari segi waktu lebih panjang, tapi dia dapat lebih fokus dalam menjalankan ibadah.
“Di sini waktu saya lebih produktif untuk beribadah, seperti tadarusan bersama, salat tarawih, memasak untuk dibawa ke masjid, dan sebagainya. Mungkin karena umat Islam minoritas jadi kita lebih fokus dalam beribadah,” kata Wita.
Selain itu, dia juga mengaku tidak terlalu merasa lapar maupun haus. Hal ini bisa jadi lantaran dia sudah lama tinggal di Amerika sehingga sudah terbiasa dengan waktu yang lebih lama.
“Apalagi saya memulai puasa di sini saat musim dingin yang cuma delapan jam, baru kemudian puasanya geser ke musim panas. Jadi secara gradual saya membiasakan diri dengan waktu puasa yang lebih lama,” tutur Wita.
Dia merasa godaan di Indonesia justru lebih besar karena banyak makanan yang menggugah selera. Sementara di Amerika, meski restoran semua buka, tapi makanan yang disajdikan tidak memantik nafsu makannya.
“Kalau di Indonesia bau soto saja sudah sangat menggoda,” kata Wita.
Bagi Anda pembaca detikcom yang memiliki pengalaman berpuasa Ramadan di luar negeri seperti yang dituliskan di atas, bisa menuliskan dan mengirimkannya ke: redaksi@detik.com. Sertakan identitas lengkap, nomor kontak yang bisa dihubungi dan foto yang mendukung kisah Anda.
0 comments:
Post a Comment